Anwar Wali, Apoteker Multi Talenta
Thursday, Feb 14 2019 at 12:41 PM

Gempa bumi yang terjadi di lombok awal Agustus lalu, disusul gempa di Palu di bulan September, ternyata telah melahirkan sejumlah ‘pahlawan’. Para pahlawan ini rela membagi waktunya untuk membantu mereka yang telah dilanda musibah. Membantu sepenuh hati, bahkan hingga tercipta kedekatan emosional dengan para korban bencana. Salah satunya adalah Anwar Wali, S.Si, Apt. Apoteker muda asal Ambon yang mendedikasikan dirinya membantu meringankan penderitaan saudara-saudara kita yang tertimpa bencana, baik di Lombok maupun Palu.

Ditemui di sebuah restoran dibilangan Jakarta Selatan, Anwar yang kemudian berhijrah ke Jakarta untuk lebih mengembangkan diri ini, mengaku sejak awal memang tertarik dengan kegiatan sosial. Ketika tengah kosong dari kegiatan, Anwar tiba-tiba ditawari untuk bergabung dengan relawan BSM (Bank Syariah Mandiri) membantu korban bencana di Lombok ketika itu. Tanpa berpikir panjang, Anwar menerima tawaran itu dan berangkat keesokan harinya bersama tim medis lainnya.

‘’Itu kali pertama saya terjun sebagai relawan ke daerah bencana. Terus terang belum tahu apa yang harus saya lakukan nanti di lokasi bencana. Bismillah, yang penting niatnya saya ingin membantu,’’ ungkap Anwar. Begitu tiba di lokasi melihat kondisi tempat bencana, ia merasa sangat sedih dan terpukul. Ia tiba sehari setelah gempa terjadi keadaan masih porak poranda. Ia harus tidur beralaskan kardus di bawa tenda sementara. Sempat terbersit keinginan untuk kembali pulang ke Ambon. Tapi ia berusaha bertahan. Apalagi sebagai apoteker ia belum tahu betul apa yang akan dia lakukan di wilayah bencana, sementara tenaga medis lain seperti dokter dan perawat, masing-masing telah memiliki bekal sebagai relawan. Sebagai apoteker, Anwar kemudian menemukan sendiri persoalan apa yang harus diselesaikan oleh apoteker ketika berada di daerah bencana.

‘’Yang paling utama adalah menata logistik,obat-obatan dan alat kesehatan. Sebenarnya ini pekerjaan kita sehari-hari sebagai apoteker, tetapi sama sekali tidak dipahami oleh tenaga medis lain. Dengan penataan logistik yang baik, penyerahan obat kepada pasien menjadi lebih cepat dan mudah. Apa yang saya dan beberapa teman apoteker lakukan kemudian, ternyata mendapat apresiasi dari para dokter yang bertugas disana. Saya dan teman-teman apoteker yang kemudian berdatangan ke lokasi bencana semakin semangat,’’ kenang Anwar.

Tidak terasa masa tugas satu minggu sesuai kontrak awal sudah berakhir. Tapi hati Anwar terlanjur terpaut bersama para korban bencana. Ia kemudian memutar otak, bagaimana agar bisa tetap disana membantu. Ia pun kemudian mencari rekomendasi dari warga dan ternyata mendapatkannya untuk bisa kembali lagi ke Ambon masih dengan biaya dari BSM. Anwar menghabiskan waktu hampir dua bulan di Lombok, sebelum kemudian beralih ke Palu, saat musibah tejadi di kota itu.

Bukan hanya menata logistik yang dilakukan Anwar, tetapi ia juga terjun langsung ke tengah para pengungsi dan berinteraksi dengan mereka. ‘’Saya vlog yang menarik dengan gaya millenal dan melibatkan warga disana. Saya lakukan itu sebagai upaya untuk menghilangkan trauma akibat bencana,’’ tutur Anwar. Bila malam tiba, ia datang ke pengungsian dan bercerita kepada anak-anak mengenai berbagai hal. Ia berbagi cerita tentang Ambon dan Jakarta kepada anak-anak.

‘’Salah satu anak kepala desa, maunya setiap malam tidur dengan saya,’’ kenang bujang 31 tahun itu.

Selain menghibur anak-anak di pengungsian, Anwar juga melakukan kunjungan ke wilayah wilayah lain. Sebelum berangkat, Anwar terlebih dulu harus memberikan briefing kepada perawat soal obat-obatan yang sudah ia pisah pisahkanya sesuai kelas terapi, juga bagaimana melayani pasien yang membutuhkan obat.

Di lapangan berbagai hal ia lakukan untuk menghibur korban bencana, terutama anak-anak. Salah satunya ia mengajarkan lagu Lima O, lagu milik Gema Cermat, untuk memperkenalkan profesi apoteker kepada anak-anak. Tidak hanya itu, saat World Pharmacist Day tiba, Anwar berinisiatif merayakannya bersama 300 siswa SD Ceria di Sigar Penjalin, dan 30 siswa TK dengan membagikan obat cacing kepada mereka. Selama ini belum pernah ada kegiatan semacam itu disana.

Bukan hanya kepada anak-anak, Anwar juga diminta mengajari lagu Lima O kepada ibu-ibu yang bekerja di dapur umum. Dari sinilah kedekatan dengan warga setempat terjalin dengan sangat baik. ‘’Sampai sekarang, saya masih sering berkomunikasi dengan mereka lewat telepon,’’ ujarnya.

Yang dilakukan Anwar di lokasi bencana adalah melayani pasien dengan sebaik-baiknya, sayangnya kondisi obat-obatan sangat terbatas jenisnya. Akibatnya ia harus memutar otak, bagaimana agar kebutuhan obat di poskonya dapat terpenuhi.

‘’Saya sering berkeliling ke posko-posko, termasuk ke Posko IAI dan memperkenalkan diri. Di beberapa Posko ada juga yang tidak percaya kalau saya apoteker dan anggota IAI. Saya terpaksa mengeluarkan Kartu Anggota IAI dan menjadikannya sebagai jaminan, ketika saya membutuhkan suatu jenis obat tertentu yang kebetulan tidak dimiliki Posko BSM dan ada di posko lain. Seringkali saya harus melakukan barter obat-obatan dengan posko lain, untuk memenuhi kebutuhan logistik,’’ kenang Anwar. Tapi dari sana ia justru menemukan banyak kenalan baru yang kemudian sangat membantunya melakukan tugasnya sebagai Apoteker Tanggap Bencana.

‘’Saya bertemu dengan apoteker-apoteker luar biasa selama di Lombok. Seperti Bu Andang, Bu Ning, Pak Agus ketua PC Lombok Barat dan banyak lagi,’’ tuturnya.

Salah satu yang menarik adalah ketika ada pasien yang tak mau dirujuk ke RS, padahal ia membutuhkan infus parasetamol yang tidak dimiliki posko. Ia pun harus berkeliling Lombok mencari keberadaan parasetamol infus. Beruntung ia bertemu dengan Sekretaris PD NTB yang kemudian memberikan parasetamol infus, pasien itu pun tertolong.

Berangkat ke Palu

Pulang dari Lombok, Anwar berangkat ke Palu atas biaya BIN. Bersama dokter, perawat dan apoteker dengan masa kontrak selama 10 hari. Tapi sekali lagi, kontraknya diperpanjang sampai 1,5 bulan.

Sebagaimana di Lombok, Anwar harus berhadapan dengan kondisi yang miris, bahkan kali ini jauh lebih miris dibanding Lombok. Di Palu, selain gempa bumi, likuifaksi menyebabkan situasi yang lebih menyedihkan.

Palu seperti kota mati saat itu. Tidak ada kehidupan, lampu mati, tidak ada kendaraan yang lewat. Sementara di pengungsian masih banyak korban luka-luka yang menangisi kematian dan kehilangan keluarganya.

‘’Sampai juga saya di Petobo, Balaroa dimana ada rumah yang bergeser sampai 500 meter. Likuifaksi menelan sebuah kampung, saya berdiri di atas tanah yang dibawahnya adalah atap rumah milik warga. Disana saya bertemu teman kuliah, Rori, yang menyaksikan bagaimana orangtuanya dihisap lumpur dan tidak mampu ia menolong. Rori sendiri sempat tertelan lumpur, tapi entah bagaimana ia terangkat kembali dan kemudian menyelamatkan diri. Kakinya patah karena tersandung. Melihat itu semua saya ingin menangis, sedih sekali. Keinginan untuk membantu meringankan derita mereka pun makin besar,’’ tutur Anwar.

Hal lain yang tak terlupakan selama di Palu, adalah saat ia harus mengantarkan bantuan ke Kantewu, di kecamatan Pipikoro, Sigi. Selama seminggu disana Anwar mengaku mati gaya. Maklum sebagai generasi milenal, update status di media sosial adalah sebuah kebutuhan. Sementara sinyal sama sekali tidak ada disana.

‘’Seminggu saya mati gaya, ketika akhirnya kembali ke Palu, sudah banyak sekali notifikasi di akun saya,’’ kenangnya.

Kantewu termasuk desa yang terisolasi akibat jalan yang terkena gempa. Akibatnya mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka, karena tidak punya akses ke Palu.Tim BIN kemudian mengirimkan bantuan melalui jalur udara menggunakan helikopter, itu pun tidak langsung menembus hingga ke lokasi. Dari Palu perjalanan udara selama 30 menit, kemudian disambung dengan mengendarai ojek selama 1 jam. Perjalanan melewati 4 gunung, dengan jurang menganga di sebelah kiri dan hutan pohon coklat di sebelah kanan. Sebuah perjalanan yang sangat menantang.

Berbeda dengan di Lombok dimana masyarakatnya cukup bersahabat menerima kehadiran relawan, Palu yang berkarakter keras sempat menolak kehadiran relawan kesehatan. Mereka membutuhkan bahan pangan dan bukan bantuan kesehatan.

‘’Tapi dengan pendekatan yang baik, melalui anak-anak, akhirnya kedatangan kami diterima dengan baik,’’paparnya.

Di Palu, meski ia berangkat bersama BIN, tetapi tetap selalu berkoordinasi dengan Posko IAI dan sempat membantu IAI dalam mengirimkan bantuan ke sejumlah posko yang sulit dijangkau dengan jalan darat. IAI juga mengirimkan sejumlah apoteker dalam bencana Palu.

Pengalamannya menjadi relawan di Lombok dan Palu membawakan sebagai dosen tamu di Sekolah Farmasi ITB. Ia mendapat undangan untuk menjadi dosen tamu di depan mahasiswan dan dosen Sekolah Farmasi ITB menceritakan pengalamannya sebagai relawan. Anwar kemudian juga sempat diwawancarai oleh TVRI dan mengisi program Bincang Sehat.

 

Penulis: Dra. Tresnawati, Apt

*Artikel ini bersumber dan sudah dipublikasikan di Majalah Medisina Edisi 32/Vol.VIII/Oktober-Desember 2018