Syarmalina* & Adeng F Hanafi**
Betapa dimanja manusia oleh Sang Pencipta. Allah telah menyediakan semua keperluan manusia di alam semesta. Di jagat raya sudah ada semua, dan ternyata tak ada satupun yang dibuatNya tapi hanya sia-sia belaka. Semua berguna dan pasti ada manfaatatnya bagi manusia. Subhanallah; Maha Suci Allah !!
Bayangkan juga, di dalam tanaman yang biasa digunakan untuk obat, ternyata ada makhluk kecil penyerta yang sangat berguna dan begitu besar manfaatnya untuk manusia. Makluk yang "numpang" hidup di tanaman tersebut dinamai mikroba endofit.
Mikroba endofit adalah mikroba yang hidup di dalam jaringan tanaman selama periode tertentu dari siklus hidupnya. Mikroba endofit dapat membentuk koloni dalam jaringan tanaman tanpa membahayakan inangnya. Istimewanya lagi, makhluk kecil ini mampu memproduksi senyawa bioaktif yang dapat dimanfaatkan, antara lain untuk pengobatan. Sungguh luar biasa!
Ceritera Jati Belanda
Sekitar tahun 80-an jati belanda pernah menjadi primadona. Jati belanda (Guazumae Folium) sejak dulu oleh masyarakat Jawa dimanfaatkan sebagai bahan ramuan jamu pelangsing. Dikaitkan dengan mitos rahasia kecantikan putri keraton yang tetap terjaga bentuk tubuhnya tetap langsing meski sudah berkeluarga, konon menurut ceritera, mereka secara rutin rajin minum ramuan jati benada. Maka, popularitas jati belanda pun tak heran kalau langsung meroket dan banyak dicari dimana-mana.
Harga daun jati belanda kering saat itu di tahun 80-an cukup menggiurkan dan menjadi sumber pendapatan tambahan para petani. Akibatnya, jati belanda yang tumbuh di lereng-lereng hutan nyaris plontos tanpa daun lagi, bahkan banyak yang lantas mati karena digunduli. Saking sulitnya mencari daun jati belanda, petani yang agak nakal mencampur daun daun jati belanda dengan daun waru, yang kebetulan agak mirip katanya. Bagi yang tidak kenal betul karakteristiknya, memang nyaris sama. Tapi itu pasti berbeda, apalagi dari segi khasiatnya.
Pesona jati belanda dengan perburuan liar tanpa diimbangi dengan penanaman dalam perkebunan itu, membuat jati belanda sempat dinyatakan sebagai tanaman langka yang harus dijaga pelestariannya. Jati belanda nyaris punah, dan harus segera dibudidayakan di lahan pertanian. Syukur sekarang sudah cukup banyak ditanam di mana-mana, bahkan dipakai sebagai tanaman pelindung. Di sebagian daerah daun jati belanda yang tumbuh subur ditanam di pingir batas lahan, dibiarkan merimbun tidak dimanfaatkan sama sekali. Mereka tidak tahu manfaatnya atau mungkin karena kebutuhan jati belanda sudah tidak seperti dulu lagi.
Kisah serupa jati belanda baru-baru ini juga dialami buah merah yang asli dari Papua. Sebotol kecil sari buah merah harganya ada yang sampai 250 ribu rupiah. Padahal, setandan buah merah mungkin bisa menghasilkan puluhan botol sari buah merah siap jual. Berapa keuntungan yang sudah terbayang bakal jatuh di tangan? Suatu angka yang benar-benar mempesona. Pendatang dan penduduk asli Papua saling bekerjasama memburu si buah merah. Akibatnya, lagi-lagi tanaman yang pohonnya seperti pandan hutan dengan buah mirip nangka besar ini dikuatirkan punah karena terlalu banyak dijarah. Untuk melestarikannya, pemerintah melalui dinas terkait memotivasi para pengusaha sari buah merah untuk memiliki perkebunan buah merah. Buah merah yang diolah tidak hanya mengandalkan hasil buruan dari hutan, tetapi diimbangi dengan adanya perkebunan sendiri. Berapa lahan yang digunakan? Berapa investasi yang harus ditanam? Sudah terbayang. Bukan angka yang kecil untuk dirumuskan. Belum lagi waktu penyiapannya juga cukup panjang. Wah melelahkan! Yang instant, ya enaknya yang tinggal petik di hutan. Kan sudah disediakan alam. Tapi kalau berebut sampai kehabisan? Ini kendalanya yang harus dipikirkan bersama.
Memetik pengalaman dari kedua tanaman yang sangat menggoda para pebisnis ini, mengapa kita tidak memulai memanfaatkan "tenaga" makhluk kecil yang bernama mikroba endofit. Bukankah dalam tanaman-tanaman unggulan seperti itu ada mikroba endofit yang dapat memproduksi zat berkhasiat yang kita rencanakan?
Menjaga Tumbuhan Inang
Petrini dalam artikelnya yang berjudul Ecology, metabolite production and substrate utilization in endophytic fungi menyatakan bahwa dalam satu jaringan tanaman kemungkinan ditemukan beberapa jenis mikroba endofit. Jumlah taksa isolate yang diperoleh dari suatu bagian tanaman inang biasanya sangat banyak, tetapi hanya beberapa jenis saja yang dominant pada satu inang. Tanaman obat tradisional besar kemungkinan memiliki mikroba endofit berpotensi yang terkandung dan hidup secara simbiotik di dalamnya. Bergantung dari potensi tanaman yang diteliti, ada juga Mikroba endofit yang mampu menjadi sumber senyawa bioaktif yang memiliki potensi sebagai antimikroba.
Mikroba endofit dapat diisolasi dari jaringan tanaman dan ditumbuhkan pada medium fermentasi tertentu. Di dalam medium fermentasi tersebut mikroba endofit umumnya dapat menghasilkan senyawa sejenis yang terkandung pada tanaman inang dengan bantuan aktivitas suatu enzim.
Beberapa senyawa endofit yang bersimbiose dengan tanaman inangnya juga ada yang mampu menghasilkan senyawa antibiotik. Senyawa antibiotik ini aktif terhadap mikroba-mikroba pathogen manusia dan patogen tanaman. Satu lagi kebesaran Tuhan, tanaman yang hidup di alam ternyata punya "pabrik" obat untuk menangkal serangan kuman.
Senyawa anti mikroba yang dihasilkan tersebut mampu menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuh mikroba yang merugikan. Senyawa tersebut tentu saja bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relative tidak toksik untuk hospes. Berdasarkan sifat kerjanya, antimikroba melawan mikroba patogen dengan cara mengganggu metabolisme sel mikroba, menghambat sintesis dinding sel mikroba, mengganggu permeabilitas membrane sel mikroba, menghambat sintesis protein sel mikroba, atau menghambat sintesis/merusak asam nukleat sel mikroba.
Tabir Endofit Sambilo
Endofit sebenarnya bukan "barang" baru. Di Jepang endofit sudah diteliti dan dipublikasi sejak sekian puluh tahun silam. Kemudian diteruskan dengan penelitian-penelitian lanjutan menggunakan tumbuhan inang yang berbeda-beda. Hasilnya, setiap tanaman mempunyai ciri tersendiri dan sangat menarik sekali.
Di Indonesia juga sudah ada beberapa penelitian untuk menguak tabir endofit. Salah satu tanaman yang diteliti kerja endofitnya adalah sambiloto (Andrographis paniculata) yang merupakan tanaman berkhasiat obat dan cukup banyak dimanfaatkan di mana-mana. Sambiloto termasuk salah satu tanaman obat unggulan Indonesia disamping temulawak, pegagan, mengkudu, lada, lidah buaya dan kunyit. Keunggulan sambiloto dapat dilihat dari manfaat serta efektivitas tanaman obat tersebut dalam menyembuhkan beberapa penyakit yang sudah terbukti secara empiris.
Di dalam sambiloto memang terkandung zat yang bermanfaat seperti andrographolid, alkane, keton. Aldehid, asam kersik, damar, kalium, kalsium dan natrium, minyak atsiri, lakton, dan flavonoid. Kandungan zat khasiat tersebut memberikan manfaat efek farmakologis seperti sebagai antiinflamasi, antiinfeksi, antibakteri-bakteriostatik, analgetik, antipiretik. Masyarakat umum biasanya menggunakan sambiloto untuk mengobati sakit tifus, diabetes mellitus, radang telinga, radang tenggorok, sinusitis, amandel, kudis, disentri, gatal-gatal, dan penambah nafsu makan.
Beberapa penelitian seputar mikroba endofit yang diteliti dalam tanaman sambiloto antara lain :
- Isilasi Penapisan kapang Endofitik dari Tanaman Sambiloto {Andrographis Paniculata (Burm.f) Nees} sebagai Senyawa Penhasil Antimikroba.
Oleh Siti Maemunah, Fakultas Farmasi Univ. Panasila Jakarta 2006. - Isolasi dan Penapisan Bakteri Endofitik dari Batang Tanaman Sambiloto {Andrographis Paniculata (Burm.f.) Ness} Sebagai Penghasil Senyawa Antimikroba.
Oleh Handyono, Fakultas Farmasi Universitas Pansila Jakarta 2006. - Uji Antimikroba Metabolit Sekunder Bakteri Endofit yang Diisolasi dari Tanaman Sambiloto {Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees}
Oleh Dianawaty Rahardjo, Fakultas Farmasi Universitas Pancasila Jakarta 2006.
Hasil ketiga penelitian tersebut saling menguatkan dan menyatakan bahwa "makhluk" mikroba endofit itu memang ada, dapat dipisahkan, dapat dikembangbiakkan, dan memberikan manfaat yang kurang lebih sama dengan yang terdapat dalam tanaman aslinya. Jadi, endofit memang merupakan suatu lahan penelitian yang luas dan menjanjikan.
Tanaman Sambiloto diperoleh dari Kebun Penelitian BALITRO Bogor, dengan determinasi tanaman dilakukan di Herbalium Bogoriense Botani, Puslitbang Biologi LIPI, Bogor. Setelah diseleksi secara makroskopik meliputi warna permukaan, bentuk hifa, warna hifa, tepi koloni dn warna sebalik koloni. Serta pemeriksaan secara mikroskopik diperoleh isolat murni kapang endofit yang selanjutnya dibuat starter, digunakan pada proses fermentasi untuk memproduksi metabolit sekumdernya. Metabolit sekunder inilah yang diteliti lebih lanjut akan potensi dan manfaatnya. Hasilnya, ternyata ketiga penelitian untuk menguak tabir endofit pada sambiloto tersebut memberikan gambaran yang sangat jelas. Endofit akan menjadi "pabrik" potensial untuk menghasilkan senyawa-senyawa yang diinginkan dari suatu tanaman.
Suatu saat nanti, mungkin berbagai keperluan senyawa aktif dari bermacam-macam tanaman akan diolah hanya dari sebuah gedung. Lahan yang berhektar-hektar untuk menanam tanaman obat, mungkin akan dihutankan untuk lebih menjaga kelestarian alam.
Penelitian yang dilakukan pada Sambiloto ini hanyalah bagian kecil dari gagasan raksasa untuk menandai endofit-endofit tetentu yang diperlukan bagi kemajuan dunia obat dan pengobatan. Masih jutaan langkah lagi yang harus ditempuh. Masih begitu banyak tanaman lain yang harus diteliti. Dari setiap tanaman ada sekian jenis khasiat yang harus difokuskan lagi.
Lantas sampai kapan? Inilah sebuah kebesaran Tuhan, yang nikmat-nikmatnya tidak akan mampu dicatat, sekalipun lautan dijadikan tintanya dan batang pepohonan sebagai penanya. Subhanallah, Maha Suci Allah!
* Staf Pengajar Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Jakarta. ** PD ISFI DKI Jakarta.