Tanggung Gugat Produsen dalam Peredaran Obat
Wednesday, Mar 16 2016 at 10:22 PM

Dr.Faiq Bahfen, SH.

A.     PENDAHULUAN

Akhir-akhir ini sering didengar adanya penarikan dari peredaran dan pencabutan izin edar obat. Penarikan kembali dari peredaran dan pencabutan izin edar obat ini disebabkan kerana berbagai perbuatan atau tindakan antara lain yang dilakukan oleh produsen, seperti obat yang diproduksi tidak memenuhi standar dan persyaratan mutu dan produksi, penandaan yang tidak sesuai, efek samping yang lebih besar dari manfaatnya.

Perbuatan produsen yang demikian seyogyanya dapat dimintakan pertanggungan jawab, tidak hanya dari segi ilmu hukum adaministrasi, tetapi juga dari segi hukum pidana dan ilmu hukum perdata atas kerugian yang diderita masyarakat. Namun karena lemahnya atau tidak jelasnya pengaturan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, kerugian yang diderita masyarakat dibiarkan berlalu. Begitu juga kerugian yang timbul tersebut tidak dapat ditelusuri dengan tepat, kerena lemahnya mekanisme pemantauan terhadap lalu lintas peredaran obat dan pemeriksaan setempat, disamping evaluasi terhadap pencatatan dan pelaporan produksi.

Lemahnya pengawasan dan audit yang dilakukan dalam menerapkan berbagai ketentuan peraturan yang ada, membuat produsen tidak jera untuk melakukan perbuatan atau kegiatan dalam  proses produksi yang tidak memenuhi standar dan persyaratan. Lemahnya  penerapan  hukum dan pengawasan dalam memantau produsen dan sarana kesehatan lain yang melakukan kegiatan produksi dan peredaran obat, seringkali di tandai dengan anggapan  bahwa hukum dalam bidang farmasi hanya meliputi seperangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur secara langsung tentang obat, sarana kesehatan dan tenaga kesehatan.

Hermien Hadiati Koeswadji menyatakan bahwa ketentuan - ketentuan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan serta peraturan pelaksanaannya belum mencerminkan  hukum di bidang kesehatan secara keseluruhan.  Selanjutnya dengan merujuk pada apa yang dikatakan oleh Van der Mijn dan Leenen bahwa hukum kesehatan meliputi ketentuan yang secara langsung mengatur masalah kesehatan, dan penerapan ketentuan hukum pidana, hukum perdata, dan hukum administrasi umum yang berhubungan dengan masalah kesehatan. Van der Mijn menyatakan bahwa hukum kesehatan sebagai " ........a body of rules that relaties directly to the case for health  as well as to the application of general civil, criminal and administrative law"

Adanya peredaran obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan mutu seperti dinyatakan  diatas berawal dari tidak dipenuhinya persyaratan Cara Pembuatan Obat Yang Baik. Produk obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan berupa kadar yang tidak sesuai, isi yang kurang, dan bentuk obat yang berbeda, seharusnya tidak  pernah di edarkan oleh produsen. Dalam hal ini sumber daya manusia memegang peran utama dan pertama dalam proses produksi dan pengawasan mutu. Keberadaan personel yang cukup, baik dari segi kuantitas maupun kualitas sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki, acapkali dipenuhi dalam kerangka formalitas belaka. Sarana dan prasarana yang berupa bangunan, penataan bangunan dan peralatan  yang digunakan  dalam proses produksi obat  harus cukup sesuai dengan kebutuhan. Validasi dan kalibrasi, hygiene dan sanitasi serta pencatatan seringkali  tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Fakta adanya obat yang tidak memenuhi standar dan persyaratan mencerminkan tidak dilakukannya penataan pada proses produksi oleh produsen secara baik.

Pada sisi lain pemakaian obat harus rasional, demikian kata Moeleok. Obat harus dipilih yang efektif, kecil efek sampingnya serta sesuai dengan kebutuhan. Namun dalam praktik ternyata masyarakat  dapat secara leluasa memilih atau memperoleh obat yang seharusnya ditentukan pilihannya oleh dokter atau bidan. Dalam hubungan ini seringkali tenaga kesehatan dan sarana kesehatan yang berwenang untuk mengedarkan dan menyerahkan obat mengabaikan berbagai ketentuan mengenai  standar dan persyaratan yang harus dipenuhi. Tampak disini baik masyarakat penerima pelayanan kefarmasian maupun tenaga kesehatan dan sarana kesehatan pemberi pelayanan kefarmasian seolah-olah tidak bertanggung jawab dalam peredaran obat.

Selanjutnya berkaitan dengan informasi yang harus diberikan atas suatu produk obat yang terdapat pada label atau leaflet seharusnya dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mengambil keputusan dapat tidaknya obat tersebut digunakan. Namun seringkali informasi yang diberikan lebih banyak bersifat mengarah kepada keuntungan ekonomi belaka. Iwan Darmansyah menyatakan bahwa informasi obat yang ilmiah dan obyektif hampir tidak ada di Indonesia. Masalah dalam praktik sudah terjadi kerancuan antara "publikasi ilmiah" dengan "iklan/promosi". Iklan/promosi cenderung untuk lebih di fokuskan pada khasiat obat sementara efek samping tidak diketahui.

Pengertian istilah  tanggung gugat melukiskan suatu situasi yang menurut hukum seorang boleh menagih dan orang lain tunduk kepada penagihan.  Dengan demikian tanggung gugat melukiskan si pelaku harus bertanggung jawab atas perbuatan dan harus mempertanggung jawabkan dalam gugatan  yang diajukan di hadapan pengadilan oleh penderita. Di satu pihak gugatan ganti rugi terhadap produsen obat yang melakukan perbuatan melanggar hukum karena terdapat kesalahan dalam pabrikasi, konstruksi atau instruksi, namun di lain pihak perkembangan hukum menunjukkan di dasarkan pada risiko yang dialami oleh pengguna obat. Obat sebagai  produk  yang terbuat dari bahan, campuran  bahan, bila digunakan walau sekecil apapun akan tetap mempunyai efek samping yang individual.

Dari materi tersebut nampak adanya perubahan orientasi dimana mengarah pada penerapan tanggung gugat mutlak dan rancunya peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah obat.

Dari latar belakang tersebut dapat diketahui adanya permasalahan  yang menjadi obyek tulisan ini yakni Tanggung Gugat produsen dalam Peredaran Obat. 

Masalah pokok tersebut dapat dibagi  dalam tiga sub masalah, yaitu :

  1. Apakah tanggung gugat dapat diterapkan terhadap produsen dalam mengedarkan produk obat yang dihasilkan.
  2. Mengapa produsen yang telah memiliki izin edar untuk obat yang diedarkannya masih harus tetap bertanggung gugat bila risiko timbul pada pengguna obat.
  3. Bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan untuk mengatasi risiko yang timbul akibat penggunaan obat.

 

Tujuan tulisan ini: 

  • Untuk menemukan dan memperjelas prinsip yang digunakan dalam melandasi penerapan tanggung gugat mutlak terhadap peredaran obat.
  • Untuk menemukan bagaimana pengaturan hukum tanggung gugat mutlak dalam peredaran obat.

Diharapkan tulisan ini akan memberikan manfaat untuk :

  • Memberikan sumbangan pemikiran, baik secara teoritikal maupun praktikal terhadap "hukum tanggung gugat" dalam produksi dan peredaran obat.
  • Memberikan sumbangan pemikiran secara konseptual bagi pemerintah dalam menjalankan pembinaan dan pengawasan terhadap semua jenis sarana kesehatan yang bertugas dan berfungsi mengedarkan obat.

Tipe kajian yang dilakukan dalam rangka penulisan ini ialah penelitian normative atau disebut  juga penelitian hukum normative. Penelitian dilakukan dengan mengacu pada hukum sebagai norma. Pemilihan metode penelitian dibatasi oleh perumusan masalah, obyek yang diteliti dan tradisi keilmuan hukum itu tersendiri. Dalam  hubungan ini tema yang diteliti dibagi dalam 3 (tiga) kelompok yang sesuai dengan tiga  lapisan ilmu hukum yaitu dogmatic hukum, teori hukum dan filsafat hukum. Pada lapisan dogmatik hukum akan dikaji secara deskripsi, sistematisasi dengan cara  memanfaatkan hasil disiplin ilmu lain. Pada lapisan teori hukum dikaji berbagai gejala hukum dalam produksi dan peredaran obat baik dari segi teoritis maupun pengejawantahannya dalam praktis. Sedangkan pada lapisan filsafat hukum akan dikaji prinsip-prinsip hukum atau asas-asas hukum dalam hubungannya dengan penataan tanggung gugat produsen dalam peredaran obat.

Untuk memecahkan atau menjawab isu-isu hukum (legal issues) dan pertanyaan-pertanyaan hukum (legal questions) yang timbul, maka digunakan beberapa pendekatan, yaitu 

  • pendekatan konseptual (conceptual approach), 
  • pendepatan dogmatic (dogmatical approach) dan 
  • pendekatan komparatif (comparative approach).

Penelitian ini merupakan penelitian doctrinal dengan penalaran induktif yaitu diawali dengan menelusuri hukum positif tentang tanggung gugat melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan KUHPerdata serta putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan kata lain beranjak dari postulat normative dan jurisprudensi, selanjutnya diharap berakhir pada penemuan asas-asas normative dan doktrin.

Di samping itu, penelitian ini tidak mengabaikan penalaran deduktif, kerana asas yang diperoleh secara induksi dapat digunakan untuk mengembangkan pemikiran deduksi ada menghasilkan kesimpulan yang dapat dipergunakan proses induksi berikutnya. 

Dengan dasar pertimbangan penggunaan tipe penelitian normative, langkah - langkah dalam kegiatan penelitian dilakukan sebagai berikut : 

  • Langkah pertama dalam kegiatan penelitian ini dilakukan  dengan melakukan penelusuran kepustakaan secara primer, yaitu peraturan perundang-undangan dan jurisprudensi serta sekunder dalam rangka mencari bahan dari analisa para pakar. 
  • Langkah kedua dalam kegiatan penelitian ini dilakukan dengan penelusuran teori hukum yang berkiatan dengan hukum tanggung gugat dan kebijaksanaan pemerintah.
  • Langkah ketiga  dilakukan dengan mencermati peraturan hukum dengan bantuan ajaran berkaitan dengan interpretasi. Metode interpretasi digunakan dalam rangka memahami penerapan hukum tanggung gugat dengan menyesuaikan  terhadap  asas hukum yang ada sesuai dengan permasalahan dalam penelitian .
  • Langkah keempat dilakukan analisa secara deskriptif terhadap hukum positif yang mengatur mengenai tanggung gugat melalui penalaran teori hukum.
  • Langkah kelima dilakukan perbandingan hukum khususnya tentang pengaturan hukum tanggung gugat dan jurisprudensi.

 

B.   PRODUKSI DAN PEREDARAN OBAT DI INDONESIA

Penyelenggaraan produksi dan peredaran obat ditandai dengan saratnya peraturan. Peraturan merupakan salah satu bentuk hukum yang diimplementasikan dalam hubungan kekuasaan. Dalam menemukan hukum Wiarda menyatakan bahwa pendapat tentang kenyataan dalam masyarakat dan pendapat tentang hukum kadangkala tidak dapat dipisahkan dan saling mempengaruhi. 

Dalam proses produksi dan peredaran obat didapati berbagai Restriksi tersebut meliputi 4 (empat) hal :

  • Pertama kegiatan memproduksi dan mengedarkan obat hanya dapat dilakukan oleh sarana kesehatan tertentu yang telah memiliki izin untuk itu .
  • Kedua Kedudukan dan peranan tenaga kesehatan mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan pengelolaan atas obat .
  • Ketiga, bagaimana cara masyarakat memperoleh obat.
  • Keempat berbagai standar  dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap obat yang beredar.

 

Dalam bidang kesehatan pada umumnya dan bidang farmasi pada khususnya, peraturan yang ada selalu dikaitkan dengan berbagai ketentuan yang mengatur etika dari profesi dan asosiasi dalam melaksanakan kegiatan produksi dan peredaran obat. Pemerintah Amerika telah mengumumkan sejumlah peraturan perundang-undangan dan sejumlah ketentuan moral yang memberikan perlindungan secara adekuat dalam pelaksanaan berbagai riset di bidang kesehatan yang menggunakan  manusia  sebagai objek penelitian. 

Apabila diperhatikan lebih mendalam dalam proses produksi dan peredaran obat, terdapat berbagai factor yang saling mempengaruhi dan berhubungan. Dalam hubungan ini dapat diketengahkan suatu contoh adanya hubungan dan saling mempengaruhi antara penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi baik yang menyangkut teknik produksi dan manejerial dalam pengelolaan obat maupun aplikasi informasi, komunikasi dan komputerisasi dengan proses produksi dan peredaran obat.

Agar diperoleh gambaran yang lebih menyeluruh, selayaknya digunakan cara berfikir sistem seperti yang dikemukakan oleh Ludwig von Bertalanffy. 

Schuyt dalam membahas berfikir secara sistem menyatakan bahwa suatu sistem hukum disusun dan dibangun dari 3 (tiga) komponen :

  • Komponen pertama adalah keseluruhan peraturan, norma dan ketetapan yang dilukiskan sebagai sistem pengertian, betekenissysteem.
  • Komponen Kedua adalah keseluruhan organisasi dan lembaga yang mengemban fungsi dalam melakukan tugasnya.
  • Komponen ketiga keseluruhan ketetapan dan penanganan yang secara konkret telah diambil dan dilakukan oleh subyek dalam komponen kedua.    

 

Selanjutnya Dari prinsip yang juga merupakan pengertian dari komponen pertama, dapat dikemukakan berbagai segi. Untuk memudahkan pengertian, apabila digali dari peraturan dan norma yang berlaku dapat dilihat prinsip sebagai berikut : 

  1. Prinsip keahlian dan kewenangan. 
    Berbagai tindakan dalam produksi dan peredaran obat hanya dapat dilakukan oleh sarana kesehatan yang memiliki kewenangan sesuai dengan tugas dan fungsinya dan atau tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk itu. Pada hakekatnya prinsip ini dimaksudkan agar masyarakat dapat memperoleh obat dari sumber yang memiliki kewenangan untuk itu. Dengan demikian prinsip ini bertolak dari upaya pemberian perlindungan bagi masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan.

  2. Prinsip kebebasan untuk memilih obat. 
    Pada dasarnya masyarakat dan tenaga kesehatan dapat menentukan sendiri obat yang akan digunakan dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatannya. Pelaksanaan dari prinsip ini nampak dari adanya kewajiban untuk memberikan informasi secara akurat mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan obat tertentu.

  3. Prinsip keamanan. 
    Pada hakekatnya pekerjaan kefarmasian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan sarana kesehatan harus memberikan perlindungan hukum agar obat yang dikonsumsi benar-benar aman. Prinsip ini penting dan harus dilakukan pada setiap tahap kegiatan dalam proses produksi dan peredaran obat.

  4. Prinsip kecermatan dan ketelitian. 
    Dalam proses produksi dan peredaran obat harus dilakukan sedemikian rupa sehingga berbagai upaya yang dilakukan agar obat yang diproduksi dan diedarkan tetap terjaga mutunya.

  5. Prinsip kemudahan. 
    Produksi dan peredaran obat pada hakekatnya ditujukan agar obat dapat digunakan. Oleh karena itu obat yang beredar sudah selayaknya harus dapat mudah didapat pada saat dibutuhkan. Oleh karena itu berdasarkan prinsip ini masalah ketersediaan dan keterjangkauan obat merupakan syarat yang penting bagi masyarakat.

Selanjutnya sebelum memasuki komponen kedua perlu dibahas dulu tentang komponen ketiga. Komponen ketiga mengenai intervensi yang berupa ketetapan dan penanganan yang dilakukan dalam berbagai peraturan, norma dan prinsip sebagaimana telah disebut di atas. Komponen ini merupakan aktualisasi terhadap komponen ideal yang ada dalam komponen pertama. Analisis yang dapat dikemukakan dalam kaitannya dengan implementasi terhadap peraturan, norma dan prinsip yang ada akan dikemukakan dalam kaitannya dengan implementasi terhadap peraturan, norma dan prinsip yang ada akan dikemukan bertolak dari pokok-pokok materi yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Terhadap perkembangan ini dapat dikemukakan 3 tipe tatanan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Nonet dan Selznick. Ketiga tatanan hukum dimaksud adalah tatanan hukum represip, tatanan hukum otonomous, dan tatanan hukum reponsif.

Secara berturut-turut terkait ini akan disajikan berbagai muatan yang ada dalam tatanan hukum positif, yang terdiri dalam 4 (empat) kelompok, yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan :

 

  1. sarana kesehatan 
  2. tenaga kesehatan 
  3. pekerjaan kefarmasian 
  4. obat. 

 

Terdapat 3 (tiga) unsure yang harus dilihat dari materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan Pertama norma hukum, Kedua berlaku ekstren dan Ketiga bersifat umum dalam arti luas. Sifat norma yang ada dalam peraturan perundang-undangan meliputi 4 (empat) sifat, yaitu : 

 

  1. Perintah (gebod) yang merupakan kewajiban umum untuk melakukan sesuatu;
  2. Larangan (verbod), yang merupukan kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu;
  3. Pembebasan (Vrijstelling, dispensatie)
    Berupa pembolehan khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan;
  4. Izin (toesteming, permissie) berupa pembolehan khusus untuk  melakukan suatu yang secara umum dilarang. 

 

Selanjutnya dengan komponen kedua tentang organisasi yang ada dalam penyelenggaraan produksi dan peredaran obat dapat dibagi dalam 2 (dua) bagian besar yaitu pertama organisasi pemerintah dan kedua organisasi/ badan swasta. 

Disamping itu dari materi muatan dan masalah yang timbul dalam kegiatan produksi dan peredaran obat perlu mendapatkan perhatian adalah Kebijakan Obat Nasional (KONAS), Swamedikasi, Obat Wajib Apotek, Cara Pembuatan Obat Yang Baik, dan Penyalahgunaan Obat.

Selanjutnya materi muatan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sarana kesehatan mencakup izin, berbagai standar dan persyaratan yang harus dipenuhi. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh izinpun beragam bentuknya sesuai dengan peruntukan izin tersebut. Namun secara umum persyaratan dimaksud meliputi lokasi, ketenagaan, sarana dan prasarana yang harus dimiliki, status badan hukum, keberadaan standar operasional prosedur dan pencatatan serta pelaporan. Pencatatan yang dilakukan oleh sarana kesehatan memiliki nilai yang penting untuk menelusuri proses produksi dan peredaran obat yang telah dilakukan. Dari kepustakaan diketahui bahwa catatan yang dilakukan oleh sarana kesehatan memiliki nilai ALFRED (Administration, Legal, Finance, Research, Education dan Documentation).

Pada materi muatan peraturan perundang-undangan yang mengatur sumber daya manusia dalam produksi dan peredaran obat meliputi izin yang berlaku formal dan izin materiil untuk melakukan pekerjaan kefarmasian, keahlian dan kewenangan, keharusan dipenuhi standar profesi, keharusan menyimpan rahasia yang diketahuinya dan keharusan mengikuti pendidikan berkelanjutan.

Pada materi muatan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan obat didapati berbagai standar dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap jenis obat, persyaratan keamanan, kemanfaatan dan mutu, izin edar sebelum obat tersebut diedarkan, dan dilakukannya penelitian obat hendaknya secara terus menerus dan penggolongan obat. Dalam hubungan ini pengertian obat hendaknya diartikan dalam arti yang luas, dalam arti tidak hanya digunakan untuk pengobatan saja, tetapi meliputi seluruh upaya kesehatan. Obat dilukiskan sebagai bahan atau campuran bahan yang berasal dari binatang, tumbuh-tumbuhan, mineral, sintetis atau tubuh manusia, yang dibuat ditawarkan untuk dijual atau disajikan untuk digunakan dalam pengobatan, peredaran, pencegahan atau diagnosa suatu penyakit, suatu kelaian fisik atau gejala pada manusia atau hewan atau dalam pemulihan, perbaikan atau pengubahan fungsi organis  pada manusia atau hewan.

Selain itu terdapat juga pembatasan yang meliputi informasi yang harus diberikan terhadap obat yang diedarkan, dan pembatasan berkaitan dengan iklan atau promosi. 

Obat yang telah memenuhi standar dan persyaratan baru dapat diedarkan menurut tata cara yang telah ditentukan. Dalam mata rantai peredaran obat terdapat sejumlah ketentuan yang mewajibkan adanya pencatatan dan cara memperoleh dari sumber yang resmi.