Chloroquin atau klorokuin yang awalnya efektif sebagai antimalaria, kemudian digunakan juga sebagai imunosupresan pada pasien dengan penyakit autoimun, seperti lupus atau artritis rematoid. Karena belakangan diketahui obat ini juga memiliki efek antiviral, maka digunakan juga untuk mengatasi COVID-19 di China dan beberapa Negara lainnya. Hal inilah yang melatarbelakangi dipilihnya obat ini sebagai salah satu terapi pada pasien yang telah terinfeksi virus corona. Namun, klorokuin bukan obat utama, tetapi obat lapisan kedua, karena obat covid-19 belum ditemukan hingga saat ini.
Walau demikian, efek samping dari klorokuin cukup berat, antara lain gangguan penglihatan, denyut jantung tidak teratur dan gangguan saluran cerna. Klorokuin termasuk obat keras, jadi harus dengan resep dokter, dan penggunaannya harus diawasi oleh dokter. Apoteker sebagai tenaga kesehatan yang berwenang dan bertanggungjawab terhadap beredarnya obat di masyarakat tentunya harus mengambil sikap dalam menghadapi situasi ini. Saat ini telah dilaporkan tidak sedikit masyarakat yang ingin membeli klorokuin secara bebas tanpa resep dokter di apotek. Hal ini diperparah dengan maraknya penjualan melalui sistem daring.
Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI) yang menaungi profesi apoteker tidak tinggal diam. PP IAI telah melaporkan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan terkait penjualan obat klorokuin secara daring. Selain itu juga PP IAI telah menyiapkan media edukasi dan informasi untuk masyarakat berupa poster yang dapat ditempelkan oleh apoteker di apotek, dan disebarkan secara luas melalui media sosial, di samping edukasi yang dilakukan secara langsung di apotek. Dengan demikian, diharapkan mata rantai distribusi klorokuin tanpa resep dokter dapat diminimalisir. Media edukasi dan informasi tersebut dapat diunduh dari website www.iai.id atau channel telegram t.me/PPikatanapotekerindonesia
Dokumentasi poster: http://iai.id/gallery/hati-hati-dalam-menggunakan-chloroquin